Jumat, 30 November 2007

ANTARA PEMIMPIN DAN BOSS
Oleh: Bosco Doho
Ketika banyak orang berlomba-lomba mendulang keberuntungan melalui proses pemilihan langsung baik untuk menjadi “raja kecil” di daerah dalam ajang Pilkada atau menjadi “anggota dewan terhormat” yang konon menurut Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah kelompok bermain, maka dari mereka yang beruntung menjadi pemenang sangat diharapkan menjada pengayom masyarakat. Minimal lima tahun sekali rakyat sebagai penyumbang suara dijunjung, dikunjungi dan diberi ”upeti” oleh calon pemimpin rakyat. Akan tetapi tidak cukup banyak orang yang aware atas apa yang akan terjadi pada era kepemimpinan sang pemenang tersebut. Menjadi malapetaka bila seorang pemenang tadi menunjukkan diri sebagai boss who is never wrong. Berikut ini adalah beberapa sentilan untuk mereka yang mau menjadi pemimpin daerah.
Betapa sering orang gagal untuk menjadi pemimpin karena mereka tidak berlaku sebagai pemimpin melainkan berlaku sebagai boss.
Apa itu pemimpin dan apa itu boss, Gordon Selfridge [pendiri salah satu departemen store di London dan salah satu terbesar di dunia] mengatakan pendapatnya dan akan diuraikan secara kontekstual berikut ini:
Seorang Boss mempekerjakan bawahannya. Boss tidak sering kali tidak care dengan apa yang dialami oleh bawahannya. Pokoknya menyenangkan sang boss, meskipun kebanyakan report bernuansa ABS (asal bapak senang). Apa situasi dan kondisi yang dihadapi oleh bawahan, sebodo teing. Yang penting profit, apalagi filosofi seorang boss yang mata duitan yang penting untung, kalau perlu pada tuts kalkulator tidak boleh ada tuts kurang atau minus. Tetapi seorang Pemimpin mengilhami mereka. Mengilhami berarti manakalah orang yang dipimpin kehilangan arah, seorang pimpinan hadir dan memposisikan diri sebagai seorang pemberi ilham. Ilham tidak selalu ide yang ”coming from heaven” tetapi yang ”down to earth” dan memberikan arah yang menyenangkan dan membahagiakan kepada setiap orang yang dipimpin.
Seorang Boss mengandalkan kekuasaannya. Yang namanya kuasa cenderung otoriter. Tidak ada yang boleh melawan, mengkritisi apalagi menyalahkan. Ya karena itu tadi, boss tidak pernah salah. Tetapi seorang Pemimpin mengandalkan kemauan baik. Good will selalu menjadi kata kunci dalam mengantarkan masa depan kehidupan yang lebih baik.
Seorang Boss menimbulkan ketakutan. Ketika boss berada di antara bawahan maka tidak ada bawahan yang tampil dengan muka yang asli alias original. Yang ada topeng belaka. Semuanya selalu menunjukkan kesibukan meskipun mungkin terkesan menyibukkan diri. Tidak ada yang berani datang terlambat setelah sang boss berkantor, walaupun untuk maksud ini, orang harus berperang melawan kemacetan apalagi kalau itu orang Jakarta. Kalau boss absent dengan alasan meeting dengan partner bisnis, keluar kota, keluar negeri atau sakit, maka bawahan berpesta pora. Kucing mati, tikus berpesta pora. Bawahan ”mendoakan” supaya si boss terus-menerus sakit atau berlama-lama dengan urusannya sehingga para bawahan bebas tampil apa adanya, menghidupi keaslian mereka. Tetapi seorang Pemimpin memancarkan kasih. Kasih berarti selalu memancarkan rasa kehilangan bila sang pemimpin tidak berada di tengah-tengah orang yang dipimpin. Manakalah seorang pemimpin absent setiap orang merasa sepertinya satu hari belum sempurna dilewati tanpa sentukan kasih sang pemimpin. Ketidakhadiran sang pemimpin adalah kehilangan. Semua orang mendoakan agar sang pemimpin selalu dikaruniai kesuksesan, kesehatan yang prima, umur yang panjang, dan masih banyak litani senada.
Seorang Boss mengatakan ‘aku’. Aku menggambarkan egoisme. Segala sesuatu seolah-olah karena peranan sang boss semata. Orang lain tidak berarti tanpa kehadiran dia. Di sinilah kultus individu. Kultus individu beda tipis dengan tidak percaya kemampuan dan peran orang lain. Itu berarti ketika sang boss tamat riwayat maka sebuah organisasi atau pemerintahan tamat pula riwayatnya. Tetapi seorang Pemimpin mengatakan ‘kita’. Kekitaan menunjukkan kebersamaan. Sang pemimpin menyadari bahwa keberadannya tidak memiliki nilai tanpa kehadiran sesama yang dipimpinnya. Kehadiran yang lain semakin memanusiakan diri seorang pemimpin. Pemimpin menyadari bahwa nilai kepemimpinannya dikontribusikan oleh kehadiran orang yang dipimpin. Balik lagi, tidak ada pemimpin tanpa yang dipimpin. Kedua belah pihak saling mengandaikan.
Seorang Boss menunjukkan siapa yang bersalah. Dalam hal terjadinya sesuatu yang tidak beres, Boss cenderung mencari kambing hitam. Siapa yang diindikasikan menjadi biang kerok akan diberikan ganjaran tanpa melihat dan mempertimbangkan mengapa sampai hal demikian dapat terjadi. Boss seperti ini tidak punya pertimbangan moral beserta elemennya yang dikenal dengan finis operantis, finis operans dan circumstances atas sebuah perbuatan. Yang kelihatan hanya salah dan benar, hitam dan putih. Tidak ada wilayah abu-abu Tetapi seorang Pemimpin menunjukkan apa yang salah. Ini berarti ketika ditemukan sesuatu yang salah, sang pemimpin secara bijak dan dengan kepala dingin apa sebetulnya yang sedang terjadi. Dengan menemukan akar permasalahan maka kesalahan diterima sebagai sebuah peringatan untuk selalu berhati-hati, teliti dan berupaya untuk tidak terantuk kembali pada batu yang sama atau terperosok pada lobang yang sama.
Seorang Boss tahu bagaimana sesuatu dikerjakan. Boss merasa diri paling tahu dan paling kompeten dan dia jarang memperhitungkan peran bawahan. Bagi boss model ini, apa yang dikerjakannya selalu benar dan wajib diamini oleh yang lain. Tetapi seorang Pemimpin tahu bagaimana mengerjakannya. Di sini berarti pemimpin juga pada kondisi tertentu berguru kepada orang lain yang mungkin lebih kompeten dari dirinya. Kerendahan hati dalam mengakui kemampuan orang lain merupakan kebajikan sosial. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memimpin dengan hati nurani. Itu adalah kebajikan.
Seorang Boss menuntut rasa hormat. Ketika orang lain tidak memberi hormat maka itu adalah malapetaka bagi seorang boss. Padahal rasa hormat itu tidak perlu dicari. Tidak perlu digariskan. Biarkan penghormatan orang lain datang dengan sendirinya dalam ketulusan. Orang type inilah yang diklasifikasikan sebagai kaum gila hormat. Ketika kehilangan penghormatan dari orang maka orang tersebut bisa menjadi orang gila. Tetapi seorang Pemimpin membangkitkan rasa hormat. Pemimpin yang ideal adalah yang menghormati siapapun termasuk mereka yang berbeda paham, pandangan atau haluan politik. Justru letak kebesaran seorang pemimpin adalah pada bagaimana mengakomodasi perbedaan sehingga segala kemungkinan dapat diantisipasi. Pemimpin perlu menghormati yang dipimpin dengan demikian niscaya orang yang dipimpin menaruh rasa hormat yang mendalam secara tulus.
Seorang Boss berkata, ‘Pergi!’. Tindakan mengusir orang lain memiliki latar belakang atau motif yang beragam. Kalau bawahan tidak perform pada bidang dan tugasnya maka kebanyakan boss biasanya dengan mudah mencari pengganti yang lebih sesuai dengan selera dan feelingnya. Pengusiran tanpa tanda terima kasih dan permohonan maaf merupakan perbuatan menabuh genderang perang. Perang antara mantan bawahan dan mantan boss merupakan kejadian yang jamak terjadi di dalam kehidupan berpolitik, berorganisasi dan perusahaan yang profesional sekalipun. Tetapi seorang Pemimpin berkata, ‘Mari kita pergi!’. Bersama kita bisa. Ini ungkapan yang sangat familiar dalam Kampanye Pilpres tahun 2004 silam. Persoalan dalam proses bahwa tidak bersama juga kita bisa, itu sisi lain dari proses kehidupan. Seorang pemimpin yang memiliki etika khususnya etika politik sejatinya selalu mengajak dan memberdayakan setiap orang yang dipimpinnya agar bersama-sama pergi untuk mewujudkan kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Maka jadilah seorang PEMIMPIN, dan BUKAN seorang BOSS. Wahai para pemenang Pilkada dan pemilihan dalam lingkup apa pun: ”berhentilah berpikir dan bertindak sebagai seorang boss, tetapi jadilah seorang pemimpin”...... Apa komentar Anda atas sudut pandang ini?

Selasa, 27 November 2007

CAREFOUR HADIR DI CIBINONG
(Siapa Untung dan Siapa Rugi: Tinjauan Etika Bisnis)
Oleh: Bosco Doho
Pengantar
Pertengahan April yang lalu di sebuah kawasan kosong bekas Pabrik Garment di Cibinong terpampang sebuah spanduk panjang berbunyi "Segera dibangun Carefour, mohon doa dan restu". Yang terjadi bukannya restu malah penolakan yang datang dari masyarakat yang bakal terkena dampak langsung pembangunan hypermarket kelas dunia tersebut. Konon ada penolakan dari kalangan Pemerintah Daerah Bogor di bawah alasan mulia bahwa kehadiran Carefour akan mematikan banyak pedagang kecil di sekitar kawasan tersebut. Ada pula kalangan yang mendukung kehadiran pasar swalayan tersebut dengan dalih memberikan kesempatan kerja kepada banyak warga setempat. Untuk hal ini nurani Pemda patut diberikan jempol karena di tengah situasi terpuruk di mana angka pengangguran cenderung bertambah, sedangkan pemerintah gagal menciptakan lapangan serta kesempatan kerja kepada penduduk maka kehadiran perusahaan sebagai pendukung perekonomian dapat menjadi "blessing in disguise".
Entah benar atau hanya sekedar hiperbola, media setempat termasuk media Ibu Kota mengedus adanya aroma lain antara Pemda dan pengelola Carefour. Salah satu pernyataan yang sangat ironis menggarisbawahi bahwa penolakan oleh seorang pejabat setempat yang menolak kehadiran Carefour adalah karena tidak kebagian upeti dari calon pengelola bisnis ini. Singkat cerita, kontroversi tersebut akhirnya hilang seolah pergi bersama banjir kiriman dari kota hujan Bogor ke Batavia. Ya ada udang di balik batu. Batu hancur entah udangnya ke mana.
Hari Sabtu, 24 November 2007 kemarin, Carefour secara de facto dan de jure berdiri tegak di antara bakal kawasan Cibinong Town Square dan Pasar Tradisional Cibinong serta Ramayana yang telah cukup lama menjadi alternatif berbelanja masyarakat Ibu kota Kabupaten Bogor Cibinong. Masyarakat kota Cibinong, Citeureup, Cimanggis, Cilangkap, dan sekitarnya tumpah ruah berbelanja di Hypermarket asal Prancis tersebut. Tidak ada lagi penolakan yang mengganggu kelangsungan opening hingga transaksi antara penjual dan pembeli. Yang pasti strategi pemasaran dan penerapan bauran promosi yang dilancarkan oleh jajaran SPG dan managemen Carefour dapat dikatakan sukses.
Akan tetapi nun di tengah pasar tradisional yang identik dengan becek, bau amis dan perilaku serta interaksi yang serba tradisional ternyata ada juga pajangan spanduk yang bernada menggugat kelahiran Hypermarket baru di wilayah ini. Begini bunyi beberapa spanduk "Forum masyarakat pasar tradisional menolak kehadiran Carefour yang mematikan pedagang kecil". Lalu ada juga spanduk yang secara logis dan rasional dapat dipahami sebagai taken for granted yakni "Kami memang tidak sanggup menghapi pemodal besar". Keluhan tersebut entah ditujukan kapada siapa. Sangat boleh jadi, jarak lokasi antara pasar tradisional yang telah lebih dahulu berjasa bagi kehidupan masyarakat setempat dan kurang dari 2,5 kilometer menjadi pemicu komplain tersebut. Padahal para pelaku pasar tradisional lupa bahwa konsumen loyal mereka tetap tidak mutlak berpindah ke hypermart baru. Malah seyogyanya kehadiran pemain besar tersebut semakin menjadi pemacu dan pemicu pelayanan dan kualitas produk kepada konsumen. Semuanya seharusnya tidak perlu dipertentangkan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pertentangan bisnis modern dan tradisional tengah berlangsung di Cibinong.
Dalam konteks etika bisnis tentu kehadiran pebisnis modern dapat mengakibatkan kerugian secara langsung kepada para pebisnis tingkat bawah apalagi pelaku pasar tradisional. Hukum ekonomi berlaku bahwa pengorbanan yang sekecil-kecilnya diharapkan dapat mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya tentu saja tetap laku bagi setiap pelaku bisnis. Di sana roda pembangunan tetap berjalan meskipun perlahan. Sebagai pelaku bisnis kelas dunia, pasti pihak Carefour telah melakukan analisis SWOT, AMDAL, pertimbangan aspek legal dan fair play. Analisis yang akurat merupakan sebuah hal yang mutlak bila ingin semuanya berjalan mulus. Bahwa pada sisi yang lain muncul nada sumbang, itu merupakan sesuatu yang normal dan manusiawi. Diakui bahwa tidak semua hal yang terjadi di kolong langit ini diterima sebagai hal yang positif semata. Selalu ada sisi yang lain dalam satu problem.
Meskipun industri seperti Carefour seringkali menyedot perhatian dan keputusan konsumen namun tidak serta merta pasar tradisional mati total. Unsur komunikasi interpersonal, posisi tawar-menawar dan human touch yang dibangun oleh pelaku pasar tradisional tetap menjadi berkah tersendiri. Pasar tradisional tetap memiliki segmentasi sendiri meskipun Carefour sudah jelas menciptakan positioning sendiri. Dari kacamata etika bisnis, tidak ada yang perlu diributkan.
Etika bisnis sudah sangat lazim berjalan di negara maju dimana pasar dan masyarakat umumnya berpendidikan tinggi. Taraf hidup mereka juga memang sudah tinggi, hukum benar-benar ditegakkan dan hak-hak individu sangat diperhitungkan. Pembeli atau konsumen yang tidak puas ataupun mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan standard industri atau legalitas bisa mengadu ke yang berwenang. Konsumen kita hingga saat ini belum mendapatkan segala sesaut yang semestinya didapatkan. YLKI bisa saja eksis dan tegar dalam perjuangannya namun sistem yang dibangun belum cukup akomodatif sehingga tetap saja konsumen pada kondisi tertentu selalu gagal menjadi "king". Bahwa bisnis haruslah memiliki etika adalah sudah seharusnya. Karena konsumen atau pelanggan juga memilik hak mendapat produk yang benar. .
Apakah pebisnis yang melakukan pelanggaran etika memang hanya cukup dihentikan bisnis-nya tanpa ada tindakan hukum. Barangkali ukurannya adalah apakah ada korban jiwa atau pelanggan yang terancam keselamatannya. Sudah merupakan kondisi biasa bahwa pelanggan/konsumen kita sangat kurang perlindungan haknya.

Memang sudah ada yayasan semacam YLKI yang mencoba membela kepentingan konsumen. Namun tindakan kongkrit mengenai penegakkan hak ini belumlah optimal. Tidak dipungkiri masih banyak pelaku bisnis baik skala kecil maupun besar yang nakal. Tayangan di televise dalam program investigasi sering menangkap praktik bisnis yang melanggar etika ini. Ada bakso tikus, ada kosmetik beracun yang dapat merusak kulit, ada trik dan taktik promosi yang merugikan konsumen dan sebagainya.

Hukum alamnya adalah pebisnis yang nakal sepatutnya akan berhenti dengan sendirinya karena semua pelanggan pergi. Namun ya itulah potret mayoritas orang kita umumnya terlampau lugu, berpendidikan rendah dan yang jelas taraf hidup belum sejahtera. Dengan kemampuan daya beli terbatas bagaimana bisa pilih-pilih dalam membeli produk. Nampaknya perlu (atau barangkali sudah ada) dibentuk Badan Nasional Etika Bisnis. Tentunya diharapkan badan ini mampu menjadi penegak hak konsumen dan pelurus praktek pelanggar etika bisnis. Apakah berbelanja di hypermarket memang kebutuhan atau sekedar gaya hidup? Apakah ada kepastian hukum bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku pasar yang mungkin tidak pernah dialami ketika mereka berhadapan dengan pelaku pasar tradisional? Mari kita kembangkan diskusi kita. Mohon komentar dan saran dari para sahabat dan teman seperjuangan....