Selasa, 27 November 2007

CAREFOUR HADIR DI CIBINONG
(Siapa Untung dan Siapa Rugi: Tinjauan Etika Bisnis)
Oleh: Bosco Doho
Pengantar
Pertengahan April yang lalu di sebuah kawasan kosong bekas Pabrik Garment di Cibinong terpampang sebuah spanduk panjang berbunyi "Segera dibangun Carefour, mohon doa dan restu". Yang terjadi bukannya restu malah penolakan yang datang dari masyarakat yang bakal terkena dampak langsung pembangunan hypermarket kelas dunia tersebut. Konon ada penolakan dari kalangan Pemerintah Daerah Bogor di bawah alasan mulia bahwa kehadiran Carefour akan mematikan banyak pedagang kecil di sekitar kawasan tersebut. Ada pula kalangan yang mendukung kehadiran pasar swalayan tersebut dengan dalih memberikan kesempatan kerja kepada banyak warga setempat. Untuk hal ini nurani Pemda patut diberikan jempol karena di tengah situasi terpuruk di mana angka pengangguran cenderung bertambah, sedangkan pemerintah gagal menciptakan lapangan serta kesempatan kerja kepada penduduk maka kehadiran perusahaan sebagai pendukung perekonomian dapat menjadi "blessing in disguise".
Entah benar atau hanya sekedar hiperbola, media setempat termasuk media Ibu Kota mengedus adanya aroma lain antara Pemda dan pengelola Carefour. Salah satu pernyataan yang sangat ironis menggarisbawahi bahwa penolakan oleh seorang pejabat setempat yang menolak kehadiran Carefour adalah karena tidak kebagian upeti dari calon pengelola bisnis ini. Singkat cerita, kontroversi tersebut akhirnya hilang seolah pergi bersama banjir kiriman dari kota hujan Bogor ke Batavia. Ya ada udang di balik batu. Batu hancur entah udangnya ke mana.
Hari Sabtu, 24 November 2007 kemarin, Carefour secara de facto dan de jure berdiri tegak di antara bakal kawasan Cibinong Town Square dan Pasar Tradisional Cibinong serta Ramayana yang telah cukup lama menjadi alternatif berbelanja masyarakat Ibu kota Kabupaten Bogor Cibinong. Masyarakat kota Cibinong, Citeureup, Cimanggis, Cilangkap, dan sekitarnya tumpah ruah berbelanja di Hypermarket asal Prancis tersebut. Tidak ada lagi penolakan yang mengganggu kelangsungan opening hingga transaksi antara penjual dan pembeli. Yang pasti strategi pemasaran dan penerapan bauran promosi yang dilancarkan oleh jajaran SPG dan managemen Carefour dapat dikatakan sukses.
Akan tetapi nun di tengah pasar tradisional yang identik dengan becek, bau amis dan perilaku serta interaksi yang serba tradisional ternyata ada juga pajangan spanduk yang bernada menggugat kelahiran Hypermarket baru di wilayah ini. Begini bunyi beberapa spanduk "Forum masyarakat pasar tradisional menolak kehadiran Carefour yang mematikan pedagang kecil". Lalu ada juga spanduk yang secara logis dan rasional dapat dipahami sebagai taken for granted yakni "Kami memang tidak sanggup menghapi pemodal besar". Keluhan tersebut entah ditujukan kapada siapa. Sangat boleh jadi, jarak lokasi antara pasar tradisional yang telah lebih dahulu berjasa bagi kehidupan masyarakat setempat dan kurang dari 2,5 kilometer menjadi pemicu komplain tersebut. Padahal para pelaku pasar tradisional lupa bahwa konsumen loyal mereka tetap tidak mutlak berpindah ke hypermart baru. Malah seyogyanya kehadiran pemain besar tersebut semakin menjadi pemacu dan pemicu pelayanan dan kualitas produk kepada konsumen. Semuanya seharusnya tidak perlu dipertentangkan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pertentangan bisnis modern dan tradisional tengah berlangsung di Cibinong.
Dalam konteks etika bisnis tentu kehadiran pebisnis modern dapat mengakibatkan kerugian secara langsung kepada para pebisnis tingkat bawah apalagi pelaku pasar tradisional. Hukum ekonomi berlaku bahwa pengorbanan yang sekecil-kecilnya diharapkan dapat mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya tentu saja tetap laku bagi setiap pelaku bisnis. Di sana roda pembangunan tetap berjalan meskipun perlahan. Sebagai pelaku bisnis kelas dunia, pasti pihak Carefour telah melakukan analisis SWOT, AMDAL, pertimbangan aspek legal dan fair play. Analisis yang akurat merupakan sebuah hal yang mutlak bila ingin semuanya berjalan mulus. Bahwa pada sisi yang lain muncul nada sumbang, itu merupakan sesuatu yang normal dan manusiawi. Diakui bahwa tidak semua hal yang terjadi di kolong langit ini diterima sebagai hal yang positif semata. Selalu ada sisi yang lain dalam satu problem.
Meskipun industri seperti Carefour seringkali menyedot perhatian dan keputusan konsumen namun tidak serta merta pasar tradisional mati total. Unsur komunikasi interpersonal, posisi tawar-menawar dan human touch yang dibangun oleh pelaku pasar tradisional tetap menjadi berkah tersendiri. Pasar tradisional tetap memiliki segmentasi sendiri meskipun Carefour sudah jelas menciptakan positioning sendiri. Dari kacamata etika bisnis, tidak ada yang perlu diributkan.
Etika bisnis sudah sangat lazim berjalan di negara maju dimana pasar dan masyarakat umumnya berpendidikan tinggi. Taraf hidup mereka juga memang sudah tinggi, hukum benar-benar ditegakkan dan hak-hak individu sangat diperhitungkan. Pembeli atau konsumen yang tidak puas ataupun mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan standard industri atau legalitas bisa mengadu ke yang berwenang. Konsumen kita hingga saat ini belum mendapatkan segala sesaut yang semestinya didapatkan. YLKI bisa saja eksis dan tegar dalam perjuangannya namun sistem yang dibangun belum cukup akomodatif sehingga tetap saja konsumen pada kondisi tertentu selalu gagal menjadi "king". Bahwa bisnis haruslah memiliki etika adalah sudah seharusnya. Karena konsumen atau pelanggan juga memilik hak mendapat produk yang benar. .
Apakah pebisnis yang melakukan pelanggaran etika memang hanya cukup dihentikan bisnis-nya tanpa ada tindakan hukum. Barangkali ukurannya adalah apakah ada korban jiwa atau pelanggan yang terancam keselamatannya. Sudah merupakan kondisi biasa bahwa pelanggan/konsumen kita sangat kurang perlindungan haknya.

Memang sudah ada yayasan semacam YLKI yang mencoba membela kepentingan konsumen. Namun tindakan kongkrit mengenai penegakkan hak ini belumlah optimal. Tidak dipungkiri masih banyak pelaku bisnis baik skala kecil maupun besar yang nakal. Tayangan di televise dalam program investigasi sering menangkap praktik bisnis yang melanggar etika ini. Ada bakso tikus, ada kosmetik beracun yang dapat merusak kulit, ada trik dan taktik promosi yang merugikan konsumen dan sebagainya.

Hukum alamnya adalah pebisnis yang nakal sepatutnya akan berhenti dengan sendirinya karena semua pelanggan pergi. Namun ya itulah potret mayoritas orang kita umumnya terlampau lugu, berpendidikan rendah dan yang jelas taraf hidup belum sejahtera. Dengan kemampuan daya beli terbatas bagaimana bisa pilih-pilih dalam membeli produk. Nampaknya perlu (atau barangkali sudah ada) dibentuk Badan Nasional Etika Bisnis. Tentunya diharapkan badan ini mampu menjadi penegak hak konsumen dan pelurus praktek pelanggar etika bisnis. Apakah berbelanja di hypermarket memang kebutuhan atau sekedar gaya hidup? Apakah ada kepastian hukum bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku pasar yang mungkin tidak pernah dialami ketika mereka berhadapan dengan pelaku pasar tradisional? Mari kita kembangkan diskusi kita. Mohon komentar dan saran dari para sahabat dan teman seperjuangan....

Tidak ada komentar: